Meningkatnya Frekuensi Bencana

UNISDR dalam publikasinya pada tahun 2004 mencatat bahwa frekuensi bencana dalam tiga dekade terakhir ternyata meningkat signifikan, yaitu meningkat sebesar tiga kali lipat. Tren peningkatan bencana tersebut juga terjadi di Indonesia. Data yang dirilis oleh BNPB menunjukkan bahwa kejadian bencana di Indonesia terus meningkat secara pasti dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 tercatat terdapat 190 kejadian bencana, sedangkan antara tahun 2008 hingga 2011 terjadi 7090 kejadian bencana. Frekuensi tersebut ke depannya juga diproyeksikan akan terus meningkat karena beberapa alasan, di antaranya karena fenomena perubahan iklim.

Prediksi tentang meningkatnya frekuensi bencana sebenarnya juga telah disampaikan oleh Rasulullah sebagai tanda akhir zaman. Sebagaimana dalam sebuah hadis beliau bersabda: “Tidak akan tiba hari kiamat hingga banyak terjadi gempa bumi.” [1] dan dalam hadis lainnya beliau juga besabda: “Jika engkau melihat kekhilafahan telah turun di atas bumi-bumi yang disucikan, maka telah dekatlah gempa, bencana dan masalah-masalah besar, dan hari Kiamat saat itu lebih dekat kepada manusia daripada dekatnya kedua tanganku ini dari kepalamu (kepala perawi).” [2]

Sejauh Mana Para Ilmuwan Islam Berkontribusi?

Dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah di berbagai belahan dunia telah bekerjasama dengan teknokrat, ilmuwan, dan stakeholder terkait, melakukan pengarusutamaan manajemen risiko bencana pada berbagai level dan sektor, sebagai respon atas kesadaran meningkatnya risiko bencana yang akan dihadapi di masa depan. US, UK, Jepang merupakan di antara Negara yang memiliki perhatian besar terhadap peningkatan risiko bencana ini. Hal tersebut bisa dilihat dari berbagai lembaga yang telah dibentuk untuk mengelola risiko bencana pada berbagai level, penggelontoran dana yang besar untuk pendanaan riset kebencanaan, dan penerbitan berbagai kebijakan dan panduan teknis terkait.

Dalam arus utama tersebut, saya kadang bertanya-tanya: sejauh mana para ilmuwan islam (ulama) juga berkontribusi? Ketika para saintis dan engineer telah banyak memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menerbitkan kebijakan dan panduan teknis pengelolaan bencana, apa respons/tindakan yang diambil oleh para ulama menghadapi fakta bahwa risiko bencana di dunia semakin meningkat?

Saya kemudian mencoba untuk memikirkan di mana ilmuwan islam bisa mengambil posisi untuk berkontribusi, dan akhirnya saya berkesimpulan bahwa kontribusi tersebut minimal bisa dilakukan dalam dua hal.

Pertama, para ilmuwan islam perlu membantu untuk membekali masyarakat Islam dengan ilmu agama terkait bencana, mencakup akidah dan fikih. Di satu sisi masyarakat memang harus melek tentang penjelasan saintifik mengenai berbagai fenomena bencana yang ada. Namun di sisi lain yang lebih penting, masyarakat muslim juga harus melek bahwa Islam juga telah mengatur dan mengajarkan perspektif akidah dalam menghadapi bencana. Semisal, meyakinkan bahwa berbagai bencana yang ada merupakan karena dosa yang dilakukan oleh manusia dan sebagai peringatan untuk berbenah dan memperbaiki diri.

Dalam konteks fikih, banyak lagi yang bisa didiseminasikan untuk menjawab kebingungan-kebingunan masyarakat terkait praktik fikih dalam periode pra sampai pasca bencana. Semisal tatacara berwudhu ketika luka dan penyelenggaraan jenazah korban bencana yang busuk, terbakar, hancur, atau dalam jumlah banyak. Pada erupsi Merapi 2010 saya juga menyaksikan sendiri bagaimana kebingungan sebagian masyarakat tentang hukum solat menggunakan masker karena abu vulkanik yang bertebaran. Atau juga tentang batasan menerima bantuan dari non-muslim pasca bencana. Salah satu kajian dalam humanitarian aid ketika pasca bencana adalah masalah sensitiftas masyarakat lokal untuk menerima bantuan asing. Saya kemudian teringat pada kasus tsunami Aceh 2004. Pemerintah memilih untuk menerapkan open sky policy (bukan lagi open door), segala pesawat dan kapal negara sahabat yang bertujuan membantu korban tsunami dipersilahkan untuk masuk. Saya menduga sedikit banyaknya ada kekhawatiran dari masyarakat Aceh yang terkenal konsisten bernorma Islam ketika menerima bantungan asing (non-muslim).

Beberapa waktu yang lalu saya sempat mendengar, rakorda wilayah II MUI se-Jawa dan Lampung yang digelar di Semarang pada 2010 mengusung tema fikih bencana. Rakorda tersebut kemudian menghasilkan kesepakatan untuk menyusun buku fikih bencana sebagai respon atas kesadaran besarnya risiko bencana di Indonesia. Namun, ketika saya menulis ini saya belum menemukan publikasi resmi dari MUI terkait hal tersebut.

Selain itu saya juga berpendapat bahwa para ulama Islam penting untuk memahamkan masyarakat tentang padan kata bencana dalam Islam. Nomenklatur Islam terkait bencana sangat berpotensi membingungkan masyarakat—karena memang terdapat beberapa istilah yang mirip di dalam Islam yang berpotensi membuat masyarakat awam bingung ketika menghadapi bencana dan mencoba melihatnya dalam perspektif agama: apakah ini bala’, ataukah musibah, atau adzab? Pada 2013, saya melaksanakan FGD yang salah satu pesertanya adalah anggota LSM Perkumpulan Lingkar, sebuah LSM yang bergerak dalam manajemen bencana berbasis masyarakat di Jogja. Anggota LSM tersebut menuturkan kepada saya bahwa di lapangan kadang masyarakat tidak sepenuhnya mengerti dan menerima definisi bencana atau risiko bencana. Masyarakat hanya mengerti/menerima istilah musibah, atau definisi lokal lainnya.

Peran kedua adalah dengan memberikan konsepsi-konsepsi dalam perumusan menajemen risiko bencana yang ada. Sebagaimana saya kemukakan dalam tulisan saya sebelumnya bahwa kini manajemen risiko bencana bukan lagi domain para saintis dan engineer, namun sudah melebar menjadi domain budayawan, ilmuwan sosial, psikolog, dll. Bisa dikatakan bahwa secara umum, manajemen bencana kekinian mengadopsi konsep resiliensi, yang kemudian dielaborasi dalam berbagai level mulai dari individu, komunitas, insfrastruktur, kota, region, hingga nation. Saya ingin memberikan dua contoh dalam hal elaborasi konsep resiliensi ini. Pada level individu, ketika para psikolog yang tergabung dalam bidang psikologi bencana telah memberikan masukan pemikiran bagaimana meningkatkan resiliensi seorang individu ketika menghadapi bencana dan dampaknya, ternyata konsep personal resilience telah lama digambarkan dan dimotivasi oleh Rasulullah. Dalam sebuah hadis dari Ka'ab bin Malik, Rasulullah bersabda:

"Perumpamaan orang mukmin adalah seperti batang pohon yang lentur tapi kukuh apabila digoyang-goyangkan angin; sekali diterpa angin ia akan rebah dan lalu tegak kembali sampai akhir hayatnya...." (HR. Muslim, 8: 136)

Contoh kedua pada level komunitas. Ketika para praktisi dan para ilmuwan sosial (di Amerika sebagai contoh) berupaya untuk mendorong masyarakat untuk bersama-sama menghadapi bencana (sebagai social glue untuk meningkatkan modal social) agar resilient terhadap bencana, islam telah lama membekali pemeluknya dengan social capital dengan konsep-konsep ukhuwah islamiyyah dan yang semisal.

Menilik Praktik di Zaman Awal Islam dan Referensi Islam Terkait Bencana

Untuk menjawab pemikiran-pemikiran saya di atas saya kemudian juga mencoba melihat bagaimana praktik manajemen bencana di zaman awal islam. Atau dalam kalimat yang lebih sederhana: apa yang dilakukan umat islam terdahulu ketika terjadi bencana? Saya baru menemukan beberapa informasi terkait hal ini.

Informasi pertama yang telah saya dapati terkait bencana gempa bumi. Ibnu Abdil Barr dalam karyanya At Tamhid menyatakan bahwa gempa bumi di masa Islam tidak pernah terjadi di zaman Rasulullah dan Abu Bakr, pertama kali gempa terjadi hanya di zaman Umar. Hanya saja saya belum mendapatkan informasi mengenai respon Umar pasca kejadian gempa tersebut selain khutbah beliau untuk mengingatkan penduduk Madinah agar kembali bertakwa kepada Allah. Kemudian gempa juga tercatat pernah terjadi di zaman kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Pasca kejadian gempa tersebut, Khalifah Umar diriwayatkan menulis surat kepada semua jajaran pejabatnya di seluruh negeri Islam untuk melakukan sedekah.

Kejadian gempa bumi bisa dikatakan well documented dalam tulisan-tulisan ulama yang hidup pada zaman kejadian gempa tersebut. Diantara tulisan-tulisan khusus terkait gempa bumi yang telah berhasil saya identifikasi adalah:

1. Kasyfu sholsholah ‘an washfi zalzalah (كشف صلصلة عن وصف زلزلة) karya Al Imam As Suyuthi
2. Tahrikus sababah fi maa yata’allaqu bil zalzalah (تحريك السبابة زلزلة) karya Al Imam Al Ajluni
3. Al hauqolah fil zalzalah (الحوقلة في الزلزلة) karya Hamid Al ‘Amadi
4. Idho’ul Maqol fi asbabi zilzal wa roddu ‘ala malahidati dulal (أسباب زلزل و رد على ملاحدة) karya Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’I

Beberapa kitab tersebut mencatat cukup rinci mengenai kejadian gempa di masa silam, seperti tempat kejadian, hari, tanggal, jumlah korban dan kondisi masyarakat ketika itu. Ibnu Katsir juga mencatat beberapa kejadian gempa dan tsunami di dalam karyanya Al Bidayah wan Nihayah.

Bencana lainnya yang tercatat terjadi di masa awal Islam juga terjadi di zaman Umar, yaitu bencana wabah (pandemi) [1] yang terjadi pada tahun 18 Hijriyyah. Dalam salah satu riwayat dikatakan jumlah korban dari bencana tersebut sebesar 25.000 jiwa yang melingkupi beberapa kota di negeri muslimin ketika itu. Di antara sikap yang diambil oleh khalifah ketika itu adalah beliau mengaplikasikan hadis Rasulullah terkait wabah:

“Jika kalian mendengar suatu negeri yang sedang dilanda penyakit Tha’un (wabah), maka janganlah kamu memasukinya. Dan apabila penyakit tersebut melanda suatu negeri janganlah kamu keluar darinya. “ (HR. Bukhari)

Saya juga pernah mendengar bahwa Imam Bukhori meriwayatkan sebuah hadis di dalam Adabul Mufrod tentang kejadian kebarakan di zaman Rasulullah, namun saya belum sempat mengecek lebih lanjut.

Lesson learnt terkait manajamen bencana sepertinya juga bisa didapat dari kejadian bencana di zaman nabi-nabi terdahulu, seperti bencana banjir bandang di zaman Nabi Nuh dan badai angin di zaman Nabi Hud.

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan saya sebelumnya: Islam dan Dimensi Bencana

Selesai ditulis pada 14:01 GMT, 24 Februari 2015. Drummond Building, Newcastle University.

[1] Dalam manajemen bencana di Indonesia, pemerintah telah menetapkan terdapat 13 jenis bencana yaitu banjir, gempabumi, kekeringan, tsunami, tanah longsor, gunung api, gelombang ekstrim dan abrasi, cuaca ekstrim, kebakaran hutan dan lahan, kebakaran gedung dan pemukiman, epidemi dan wabah penyakit, gagal teknologi, dan konflik sosial.