Islam dan Dimensi Bencana[1]

Adalah Prof. Bobi yang selalu menantang saya untuk mengungkapkan dimana sebenarnya posisi Islam sebagai sebuah ideologi di dalam berbagai perdebatan di ranah teori pembangunan atau pun teori perencanaan. Dalam ranah teori pembangunan sebagai contoh, ketika berdiskusi tentang perdebatan plus-minus sistem perekonomian yang berlandaskan ideologi kapitalisme dan ideologi sosialis, dimana sebenarnya posisi islam? Apakah cendrung ke salah satunya? Jika tidak, apa sebenarnya yang bisa Islam tawarkan? Dalam beberapa kali diskusi Prof. Bobi melempar pertanyaan-pertanyaan semisal, sampai-sampai bisa dibilang menjadi terpatri di pikiran saya dan menjadi semacam FAQ ketika mempelajari ilmu baru.

Ketika melanjutkan studi magister, saya memutuskan untuk mendalami ilmu Disaster Risk Management (DRM). Sebuah ilmu yang bisa dibilang baru bagi saya. Dan sama, pertanyaan-pertanyaan semisal yang sering dilemparkan oleh Prof. Bobi juga menyeruak ketika awal saya mempelajari DRM. Apa yang sebenarnya Islam tawarkan tentang DRM? Pasti. Sebagai agama yang kaffah pasti ada yang Islam tawarkan. Hanya saja saya yang belum bisa menyiginya dengan baik.

Pertanyaan itu semakin menyemburat di pikiran manakala, dalam prosesnya, saya menjadi tahu bahwa belakangan DRM sangat terbuka untuk menerima berbagai pendekatan alternatif selain pendekatan yang telah ditawarkan oleh pengetahuan saintifik. Pengetahuan saintifik bukan lagi dianggap sesuatu yang sangat spesial di dalam DRM kekinian, karena memang dalam praktiknya tidak bisa secara sempurna memberikan dan menawarkan berbagai pendekatan.

Contoh ringkasnya adalah di dalam memahami persepsi risiko yang ada pada masyarakat. Memahami persepsi risiko adalah bagian terpenting di dalam DRM. Bagaimana persepsi risiko masyarakat terhadap bencana akan mempengaruhi kebijkan seperti apa yang akan diambil. Telah terbukti bahwa persepsi risiko masyarakat sangat dipengaruhi oleh pengetahuan tradisional, seperti nilai-nilai agama yang dianut. Penggunakan pendekatan saintifik semata dalam hal ini, di banyak kasus, terbukti mengandung banyak kelemahan yang berujung pada terciptanya gap pemahaman risiko.

Selain itu, DRM kini tak lagi hanya menjadi kajian disiplin ilmu tertentu saja. Memang selama ini DRM didominasi oleh pendekatan-pendekatan teknokratik-saintifik. Namun belakangan mulai berkembang menjadi pendekatan multi-disipilin. Ketika saya melaksanakan FGD untuk menyempurnakan tesis saya tentang model pengkajian risiko bencana, saya mengundang Prof. Heddy Ahimsha-Putra sebagai salah satu peserta. Sebagian teman yang mendengar sedikit kaget: kenapa tema pengkajian risiko bencana mengundang beliau yang notabene adalah seorang antropolog dan budayawan? Padahal, ketika FGD Prof. Heddy mengungkapkan bahwa memang para peneliti di Jurusan Antropologi sedang mengembangkan hal yang sama dengan apa yang sedang saya teliti ketika itu, yaitu model pengkajian risiko bencana yang tidak lagi mengandalkan pendekatan teknokratif-saintifik semata.

Di lain keadaan, beberapa waktu yang lalu Indonesia dikunjungi oleh seoarang Ulama terkenal dari timur tengah, Dr. Sa’ad As Syatsri. Salah satu agenda beliau di Indonesia adalah mengisi pelajaran tentang Maqoshid Syariah –tujuan-tujuan yang ingin ditegakkan oleh syariat Islam. Karena saya sedang asyik mendalami DRM ketika itu, sejurus saya langsung mencoba melihat DRM dalam perspektif Maqosid Syariah tersebut. Dan hasilnya, cocok. Tiga jenis maqoshid syariah yang ada -dalam penilaian sekilas saya, dan perlu dikaji lebih lanjut, sama dengan tujuan dari DRM: maqoshi doruriyah, maqosid hajiyat, dan maqosid tahsiniat. Ringkasnya, tidak mungkin islam alpa dalam DRM yang tujuannya juga sama.

Lebih lanjut, muncul rasa penasaran yang baru di benak saya: sejauh mana sebenarnya para Ulama (Ahlus Sunnah) Islam telah menulis berbagai hal terkait DRM? Atau dalam konteks yang lebih luas, terkait bencana. Meski masih berbentuk tacit knowledge, saya yakin itu telah ada dan banyak. Maka ketika itu saya tergerak untuk menanyakan kepada guru saya, Al Ustadz Aris Munandar, via Facebook. Intinya, beliau menjawab tulisan ulama mengenai kebencanaan terpisah pisah. Sebagian di kitab-kitab fiqh, sebagian di kitab-kitab akidah, dst. Ada juga yang menulis secara khusus, semisal Syaikh Muqbil Al Wadi’i yang menulis tentang bencana gempa –kalau tidak salah dalam perspektif akidah dan  fiqh.

Di lain kesempatan juga, ketika bertemu langsung dengan beliau, beliau langsung mendorong saya untuk menulis buku tentang fiqh bencana. Beliau bersedia untuk menunjukkan berbagai referensi yang ada dan bersedia pula untuk mengkoreksinya nanti.

Melalui berbagai ilustrasi di atas maka terdoronglah saya untuk menulis buku “Fiqh Bencana”. Dan belakangan ketika saya memulai menulis outline pembahasannya, kata Fiqh terasa kurang pas. Terasa agak sempit. Maka kemudian kata fiqh saya ganti dengan kata dimensi, sehingga jadilah “Islam dan Dimensi Bencana”. Diksi dimensi saya nilai sangat tepat untuk merepresentasikan kompleksitas di dalam ilmu kebencanaan: mulai dari perbincangan kerentanan, bahaya, kapasitas, adaptasi, resilensi, dst. Dan Islam saya yakin punya konsep sendiri di dalam setiap bagian dari kompleksitas tersebut.

Karena alasan klasik, keterbatasan waktu, outline yang sudah saya susun belum saya tindak-lanjuti sedikit pun. Nah, salah satu tujuan saya menulis ini dan mempublikasikannya di blog adalah berharap bisa menjadi pemantik. Semoga bisa memantik tulisan-tulisan lainnya yang terkait –yang mudah-mudahan bisa sesuai dan mengisi outline yang sudah saya susun tersebut. Saya berarap tulisan ini nanti bisa berseri, dan di setiap akhir tulisan saya akan merencanakan seri berikutnya tentang apa.

Sebagai permulaan, saya berharap diberi kemudahan untuk bisa menulis tentang “Mengadvokasi Pengetahuan Tradisional[2] dalam Manajemen Risiko Bencana”, yang saya rencanakan akan terbagi menjadi tiga tulisan:

1.      Dikotomi dan Gap antara Pengetahuan Tradisional dan Pengetahuan Saintifik
2.      Kenapa Pengetahuan Lokal Perlu Diadvokasi: Best Practice dan Lesson Learnt
3.      Bagaimana Cara Mengadvokasi Pengetahuan Tradisional.

Selain itu, tujuan lain saya mempublikasikan tulisan ini adalah untuk memperkaya ide. Barangkali dengan di publikasikan di blog ada yang memberikan masukan.
Oke. Semoga bisa istiqomah.


[1] Selepas lelah, 21: 10 WIB, 16 Oktober 2013. Darus Solihin, Pogung Dalangan, YK.
[2] Ilmu Islam dalam nomenklatur ini termasuk dalam ilmu tradisional.